Sabtu, 06 Februari 2010
Memberi, Hakikatnya Mendapatkan
Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt
Kekayaan seorang mukmin yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah manisnya iman kepada Allah Swt. Jika kita memilikinya, sekalipun kita miskin harta, pengaruh, jabatan, tinggal di gubuk reot, mendekam di balik jeruji, hakikatnya kita memiliki segala-galanya dalam kehidupan ini. Sebagaimana pengalaman Nabi Yusuf As.
Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf (12) :
Sebaliknya, meskipun dunia dan seisinya berada di dalam genggaman kita, tetapi kita faqrul iman (miskin iman), maka sejatinya kita tidak memiliki apa-apa. Karena, kita tidak bisa memaknai dan menikmati kehidupan ini. Dunia yang luas tak bertepi ini terasa sempit. Dunia yang terang benderang ini terasa gelap gulita. Orang beriman sekalipun miskin harta, tetapi memiliki kekayaan jiwa (ghinan nafsi).
Oleh karena itu kita harus berjuang tanpa mengenal lelah, dengan tenaga, fikiran, potensi yang kita miliki untuk mencapai manisnya iman (halawatul iman). Betapapun tinggi gunung kita daki, lautan yang tidak bertepi kita arungi, semua untuk memperoleh kenikmatan spiritual (lazzatur ruhi), yang diserap dari iman itu. Karena, di tengah-tengah perjuangan itu Allah Swt akan menggantinya dengan dua surga. Surga di dunia dengan kehidupan yang bahagia (hayatun thayyibah) dan surga di akhirat, selamat dari siksa neraka.
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (QS. Yunus (10) : 62-64).
Namun, bagaimanakah iman yang sebenarnya, aqidah salimah (steril dari kontaminasi kemusyrikian) merujuk referensi Islam itu?
Iman yang benar adalah keyakinan yang terhunjam di kedalaman hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan seluruh anggota tubuh. Keyakinan bulat, tiada keraguan sedikit pun (al-yaqinu kulluhu). Dan mampu mempengaruhi orientasi kehidupan (ittijahul hayah). Iman tidak sekedar amal perbuatan, bukan pula sebatas pengetahuan tentang rukun Iman.
Iman bukan pula sekedar ucapan lisan seseorang yang mengaku bahwa dirinya orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun dengan lisannya menyatakan hal yang serupa, tetapi hatinya mengingkari statemennya sendiri. (QS. Al-Baqarah (2) : 8-9).
Iman pula tidak sebatas amal perbuatan an sich yang secara lahiriah merupakan ciri khusus perbuatan orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun tidak sedikit yang secara permukaan mengerjakan ibadah dan berbuat baik (fi’lul khoir), sedangkan hatinya kontradiksi dengan penampakan lahiriahnya. Apa yang dikerjakan tidak didasari kemurnian niat untuk mencari ridha Allah Swt (QS. An-Nisa (4) : 142). Iman juga bukan sekedar pengetahuan akan makna dan hakikat iman, tidak sedikit orang yang mendalami hakikat dan makna iman, tetapi mereka tetap saja ingkar (QS. An-Naml (27) : 14), (QS. Al-Baqarah (2) : 146).
Dengan demikian, iman membutuhkan penerimaan oleh akal hingga mencapai keyakinan yang benar-benar kuat, tidak lentur dengan perasaan bimbang. (QS. Al-Hujurat (49) : 15). Iman di samping menuntut adanya pengetahuan, pemahaman dan keyakinan yang kokoh, dia juga mensyaratkan adanya kepatuhan hati, sami’na wa ‘atha’na (kami dengar dan kami patuh), kesediaan dan kerelaan menjalankan perintah (instruksi) Allah Swt dan Rasul-Nya, serta ulil amri yang dipilih-Nya (QS. An-Nisa (4) : 65), (QS. An-Nur (24) : 51), (QS. Al-Ahzab (33) : 36).
Di samping pengetahuan dan penerimaan, iman sepatutnya membangkitkan semangat untuk beramal, berjuang dengan harta dan jiwa, sesuai dengan yang dituntut oleh iman itu sendiri dan kewajiban orang beriman (QS. Al-Anfal (8) : 2-4).
Dalam menyajikan ilustrasi tentang iman, Al-Quran selalu mengambil bentuk sebagai perilaku terpuji dan amal yang mendatangkan manfaat, yang merupakan garis pembeda antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan munafik (QS. Al-Mukminun (23) : 1-5).
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (QS. Al-Mukminun (23) : 1-5).
Iman dan Kekayaan
Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt. Maka, dilandasi oleh keimanan ia ikhlas memberikan sesuatu, sekalipun pada saat akan mengeluarkan ada perasaan berat, tetapi keimanannnya itu mengantarkannya untuk rela memberi. Ia yakin dengan memberi, hakikatnya akan mendapatkan balasan yang lebih baik. Balasan itu tidak akan salah alamat, pasti akan mengenai dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Justru infak yang paling tinggi nilainya adalah ketika akan dikeluarkan banyak sekali pertimbangannya, dan berat hati untuk memulainya.
Bahkan bersedia memberikan yang lebih banyak, melebihi dari yang diwajibkan, karena yakin bahwa apa yang diberikannya untuk menunaikan kewajiban kepada Allah Swt. Itulah yang kekal abadi. Sedangkan apa yang di genggaman tangannya akan hilang, lenyap tanpa bekas. Apa yang kita berikan untuk kebaikan, itulah milik kita sebenarnya.
Sebagai contoh kita nukilkan di sini pengalaman ruhani seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Ubay bin Ka’ab:
“Aku pernah diutus oleh Rasulullah Saw mengumpulkan zakat. Dalam menjalankan tugas ini, aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang akan dipungut zakat hartanya. Setelah dikumpulkan semua ternaknya, maka menurut pendapatku dia hanya berkewajiban membayar bintu makhadh (unta yang sangat mudah). Aku katakan kepadanya: Berikanlah seekor bintu makhadh, karena hanya itu zakat yang diwajibkan kepadamu. Dia menjawab: Unta seusia itu belum mempunyai susu dan belum dapat dikendarai. Inilah seekor onta muda, besar dan gemuk. Ambillah ia !. Aku menjawab: Aku tidak akan mengambil apa yang tidak diperintahkan kepadaku. Kini Rasulullah Saw tidak jauh dari kita. Engkau bisa menemui beliau, mengutarakan apa yang telah kau utarakan kepadaku ini. Kalau Rasulullah Saw menyetujui, tentu aku pun menerimanya. Sebaliknya, jika beliau tidak sepakat, maka aku pun menolaknya. Lelaki itu berkata: Boleh. Lalu kami pergi bersama dengan membawa onta tersebut. Kami menjumpai Rasulullah Saw, lalu laki-laki itu berkata: Ya Rasulullah! Utusanmu telah datang kepadaku. Demi Allah, sebelum ini, baik Rasulullah Saw sendiri maupun utusannya belum pernah mengambil zakat dari hartaku. Lalu aku kumpulkan ternakku, hingga utusanmu berkata: Kewajibanmu hanya membayar bintu makhadh. Unta seperti itu belum mempunyai susu dan belum bisa dikendarai. Aku kemukakan kepadanya supaya dia mengambil seekor onta yang muda dan besar, tetapi dia tidak mau menerimanya. Dan inilah onta itu, kubawa kepadamu, ya Rasulullah, ambillah ia. Rasulullah Saw menjawab: Kewajibanmu hanya itu (bintu makhadh). Tetapi kalau engkau berbuat kebaikan dengan suka rela, niscaya Allah Swt akan memberi pahala kepadamu karenanya, dan kami pun menerimanya. Lelaki itu berkata: Inilah onta itu, ya Rasulullah! Telah kubawa kepadamu. Karena itu terimalah ia. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan kepada utusannya itu untuk menerimanya dan mendoakan keberkahan hartanya.” [HR. Abu Daud].
Al-Hamdulilllah, setelah bersedekah dan didoakan oleh manusia pilihan (al-Musthofa) itu, hartanya menjadi barakah, bertambah kebaikannya, semakin berlimpah, baik secara kuantitas dan kualitas. Keluarganya semakin harmonis, anak dan istrinya semakin patuh. Dia terhindarkan dari berbagai penyakit yang selama ini diidapnya. Karena sedekah itu bisa menolak bala’ (Ash-Shadaqatu tadfa’ul bala’). Dia sering mendapatkan jalan keluar dari berbagai kesulitan yang ditemuinya. Bahkan, orang-orang terdekatnya semakin cinta, simpati, dan selalu membelanya. Hashshinuu amwalaku biz zakat(bentengilah harta kekayaanmu dengan zakat), meminjam istilah Umar bin Khathab.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (QS. Al-Lail (92) : 5-7).
Apabila kita dalam kondisi papa, keluarkan harta yang paling kita senangi, niscaya Allah Swt akan menghilangkan kemiskinan kita itu. Apabila kita memiliki kecukupan, keluarkanlah infaq, niscaya Allah Swt akan menambah kekayaan kita. Apabila kita kaya, gemarlah berinfaq dengan tulus, supaya semakin kaya. Dan apabila kita sedang sakit, berinfaklah, Insya Allah sakit itu akan segera disembuhkan oleh-Nya. Sedekah adalah solusi yang jitu untuk mengatasi berbagai kerumitan kehidupan kita. Semoga kita bisa mengambil ‘ibrah (pelajaran), ‘ubur (jembatan menuju puncak sukses) dari kisah tadi.
Akrabilah Allah Swt di saat lapang, maka Ia akan mendatangimu ketika sempit (Hadits Qudsi). Wallahu a’lam bishshawab. [2009, Sholih Hasyim/www.hidayatullah.com]
Penulis adalah Kolumnis di hidayatullah.com
TUJUAN HIDUP SEORANG MUSLIM
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary
Setiap orang yang mendalami Al-Qur'an dan mempelajari Sunnah tentu mengetahui bahwa puncak tujuan dan sasaran yang dilakukan orang Muslim yang diwujudkan pada dirinya dan di antara manusia ialah ibadah kepada Allah semata.
Tidak ada jalan untuk membebaskan ibadah ini dari setiap aib yang mengotorinya kecuali dengan mengetahui benar-benar tauhidullah.
Da'i yang menyadari hal ini tentu akan menghadapi kesulitan yang besar dalam mengaplikasikannya. Tetapi toh kesulitan ini tidak membuatnya surut ke belakang. Sebab setiap saat dakwahnya menyerupai perkataan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Artinya : Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian yang paling menyerupai (mereka) lalu yang paling menyerupainya lagi." [1]
Bagaimana tidak, sedang dia selalu meniti jalan beliau, menyerupai sirah-nya dan mengikuti jalannya? Al-Amtsalu tsumma al-amtsalu adalah orang-orang shalih yang mengikuti jalan para nabi dalam berdakwah keapda Allah, menyeru kepada tauhidullah seperti yang mereka lakukan, memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan menyingkirkan syirik. Mereka mengahadapi gangguan dan cobaan seperti yang dihadapi para panutannya, yaitu nabi-nabi.
Oleh karena itu banyak para da'i yang menjauhi jalan yang sulit dan penuh rintangan ini. Sebab seoarang da'i yang meniti jalan itu akan menghadapi ayah, ibu, saudara, rekan-rekan, orang-orang yang dicintainya, dan bahkan dia harus menghadapi masyarakat yang merintangi, memusuhi dan menyakitinya.
Lebih baik mereka menyingkir ke sisi-sisi Islam yang sudah mapan, yang tidak dimusuhi orang yang beriman kepada Allah. Di dalam sisi-sisi ini mereka tidak akan menghadapi kesulitan, kekerasan, ejekan, dan gangguan, khususnya di berbagai masyarakat Islam. Biasanya mayoritas umat justru mau memandang da'i seperti ini, menyanjung dan memuliakannya dan tidak mengejek atau pun mengganggunya, kecuali jika mereka menentang para penguasa dan mengancam kedudukan mereka. Kalau seperti ini keadaannya, tentu para penguasa ini akan menumpas mereka dengan kekerasan, sebagaiman menumpas partai politik yang hendak mengincar kursi kekuasaannya. Sebab, para penguasa dalam masalah ini tidak bisa diajak kompromi, baik mereka itu kerabat atau pun rekan, baik orang Muslim maupun orang kafir.
Bagaimanapun juga kami merasa perlu mengatakan para da'i, bahwa meskipun mereka tetap harus menyaringkan suaranya atas nama Islam, toh mereka tetap harus mengasihi dirinya sendiri. Karena mereka keluar dari manhaj Allah dan jalan-Nya yang lurus dan jelas, yang pernah dilalui para nabi dan para pengikutnya dalam berdakwah kepada tauhidullah dan memurnikan agama hanya bagi Allah semata. Apa pun usaha yang mereka lakukan untuk kepentingan dakwah, toh mereka tetap harus memikirkan sarananya sebelum tujuannya. Sebab berapa banyak sarana yang remeh justru membahayakan tujuan yang hendak dicapai dan justru menjadi pertimbangan yang besar.
Bahkan banyak da'i yang memaksakan cara yang mereka ciptakan sendiri dan tidak mau mengikuti manhaj para nabi dalam berdakwah kepada tauhidullah di bawah slogan-slogan yang serba gemerlap, tapi akhirnya hanya memperdayai orang-orang bodoh, sehingga mereka menganggapnya sebagai manhaj para nabi.
Karena Islam mempunyai beberapa cabang dan pembagian, maka harus ada penitikberatan pada masalah yang paling penting, lalu disusul dengan yang penting lainnya. Pertama kali dakwah harus diprioritaskan pada penataan akidah. Caranya menyuruh memurnikan ibadah bagi Allah semata dan melarang menyekutukan sesuatu kepada-Nya. Kemudian perintah mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, melaksanakan berbagai kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, seperti cara yang dilakukan semua para nabi. Firman Allah.
"Artinya : Dan, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja) dan juahilah thaghut'." [An-Nahl : 36]
"Artinya : Dan, Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Ilah selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." [Al-Anbiya' : 25]
Dalam sirah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan cara yang diterapkan beliau terkandung keteladanan yang baik serta manhaj yang paling sempurna. Hingga beberapa tahun beliau hanya menyeru manusia kepada tauhid dan mencegah mereka dari syirik, sebelum menyuruh mendirikan sholat, melaksanakan zakat, puasa, haji, dan sebelum melarang mereka melakukan riba, zina, pencurian dan membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.
Jadi dasar yang paling pokok adalah mewujudkan peribadatan bagi Allah semata, sebagaimana firman-Nya.
"Artinya : Dan, AKu tidak menciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku." [Adz-Dzariat : 56]
Hal ini tidak bisa terjadi kecuali dengan mengenal tauhidullah, baik secara ilmu maupun praktik, realitas sehari-hari maupun jihad.
Anda bisa melihat berapa banyak para da'i Muslim dan jama'ah-jama'ah Islam yang menghabiskan umurnya dan menghabiskan energinya untuk menegakkan hukum Islam atau menuntut berdirinya negara Islam. Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa tegaknya hukum Islam tidak akan terwujud dengan cara seperti itu. Tujuan itu tidak akan terealisir kecuali dengan suatu manhaj yang dilakukan secara perlahan-perlahan, memerlukan waktu yang panjang, dilandaskan kepada kaidah yang jelas, harus dimulai dari penanaman akidah dan menghidupkan pendidikan Islam serta menekankan masalah akhlak. Jalan yang perlahan-lahan dan panjang ini merupakan jalan yang paling dekat dan paling cepat yang bisa ditempuh. Sebab untuk bisa mengaplikasikan tatanan Islam dan hukum syariat Allah bukan merupakan tujuan yang bisa dilakukan secara spontan dan tergesa-gesa. Karena hal ini tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan merombak masyarakat, atau adanya sekumpulan orang yang berkedudukan dan berbobot di tengah kehidupan manusia secara umum yang siap memberikan pemahaman akidah Islam yang benar, baru kemudian melangkah kepada pembentukan tatanan Islam, meskipun harus menghabiskan waktu yang lama[2]
Kesimpulannya, menerapkan hukum-hukum syariat, menegakkan hudud, mendirikan pemerintahan Islam, menjauhkan hal-hal yang diharamkan dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan, semuanya merupakan penyempurna tauhid dan penyertanya. Lalu bagaimana mungkin penyertanya mendapat prioritas utama, sedangkan pangkalnya diabaikan?
Kami melihat sepak terjang berbagai jama'ah yang menyalahi manhaj para rasul dalam berdakwah kepada Allah ini terjadi karena ketidaktahuan mereka terhadap manhaj ini. Padahal orang yang bodoh tidak pantas menjadi da'i. Sebab syarat terpenting dalam aktivitas dakwah adalah ilmu, sebagaimana yang difirmankan Allah tentang Nabi-Nya.
"Artinya : Katakanlah: 'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik." [Yusuf : 108]
Jadi, keahlian seorang da'i yang paling penting adalah ilmu pengetahuan.
Kemudian kami melihat jama'ah-jama'ah yang menisbatkan diri kepada dakwah ini saling berbeda-beda. Setiap jama'ah menciptakan pola yang tidak sama dengan jama'ah lain dan meniti jalannya sendiri. Ini merupakan akibat dari tindakan yang menyalahi manhaj Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Karena manhaj beliau hanya satu, tidak terbagi-bagi dan tidak saling berselisihan. Firman Allah.
"Artinya : Katakanlah: 'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku."
Orang-orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berada di atas jalan yang satu ini dan tidak saling berselisih. Tapi orang-orang yang tidak mengikuti beliau tentu saling berselisih. Firman Allah.
"Artinya : Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya." [Al-An'am : 153]
Jadi tauhid merupakan titik tolak dakwah kepada Allah dan tujuannya. Tidak ada gunanya dakwah kepada Allah kecuali dengan tauhid ini, meskipun ia ditempeli dengan merk Islam dan dinisbatkan kepadanya. Sebab semua rasul, terutama dakwah penutup mereka, Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dimulai dari tauhidullah dan sekaligus itu pula tujuan akhirnya. Setiap rasul pasti mengatakan untuk pertama kalinya seperti yang dijelaskan Allah.
"Artinya : Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah selain daripada-Nya." [Al-A'raaf :59 ][3]
Ini merupakan tujuan hidup orang Muslim yang paling tinggi, yang untuk itulah dia menghabiskan umurnya sambil mengusahakannya di tengah kehidupan manusia dan menguatkannya di antara mereka.
Khaliq yang telah menyediakan apa-apa yang menunjang kemaslahatan kehidupan dunianya, Dia pula yang menetapkan syariat agama bagi mereka dan menjaga kelangsungannya. Allah selalu menjaga Islam, karena Islam itulah tujuan dari diciptakannya dunia bagi manusia, lalu mereka diberi kewajiban untuk beribadah dan menguatkan tauhid, sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Ta'ala.
Kitab Tahajud

Bab Ke-1: Shalat Tahajud di Waktu Malam dan Firman Allah, "Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu tambahan ibadah bagimu."
582. Ibnu Abbas berkata, "Apabila Rasulullah bangun pada malam hari, beliau selalu bertahajud. Beliau berdoa:
'Ya Allah, bagi Mu segala puji, Engkau penegak langit, bumi dan apa yang ada padanya. Bagi-Mulah segala puji, kepunyaan Engkaulah kerajaan (dalam satu riwayat: Engkaulah Tuhan) langit, bumi, dan apa yang ada padanya. Bagi-Mulah segala puji, Engkaulah Pemberi cahaya langit dan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya. Bagi-Mulah segala puji, Engkaulah Penguasa langit dan bumi.
Bagi-Mulah segala puji, Engkaulah Yang Maha Benar, janji-Mu itu benar, bertemu dengan-Mu adalah benar, firman-Mu adalah benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam itu benar, kiamat itu benar. Ya Allah, hanya kepada-Mulah saya berserah diri, kepada-Mulah saya beriman, kepada-Mu saya bertawakal. Kepada-Mu saya kembali, kepada-Mu saya mengadu, dan kepada-Mu saya berhukum. Maka, ampunilah dosaku yang telah lampau dan yang kemudian, yang saya sembunyikan dan yang terang-terangan, dan yang lebih Engkau ketahui daripada saya. Engkaulah yang mendahulukan dan Engkaulah yang mengemudiankan. (Engkaulah Tuhanku 8/198), tidak ada tuhan melainkan Engkau, atau tiada tuhan (bagiku 8/167) selain Engkau'."
Mujahid[2] berkata, "Al-Qayyuum artinya yang mengurusi segala sesuatu." Umar[3] membaca "Al-Qayyaam", dan keduanya adalah benar.
Bab Ke-2: Keutamaan Melakukan Shalat Malam
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Umar yang tersebut pada '91 -AT-TA'BIR /25 - BAB'.")
Bab Ke-3: Panjangnya Sujud dalam Melakukan Shalat Malam
583. Aisyah berkata, "Rasulullah shalat (malam) sebelas (dan dalam satu riwayat: tiga belas 2/52) rakaat. Memang begitulah shalat beliau. Beliau sujud dalam shalat nya itu untuk satu kali sujud selama seseorang dari kamu membaca kira-kira lima puluh ayat sebelum beliau mengangkat kepalanya. Beliau biasa melakukan shalat (sesudah mendengar azan subuh) dua rakaat yang ringan dan (sebelum shalat subuh) sehingga aku bertanya-tanya, 'Apakah beliau membaca al-Faatihah?' (2/53). Kemudian beliau berbaring di lambungnya yang kanan, hingga datang orang memberitahukannya untuk shalat (subuh)."
Bab Ke-4: Meninggalkan Shalatullail untuk Orang Sakit
584. Jundub berkata, "Nabi sakit, maka beliau tidak mendirikan shalat satu malam atau dua malam."
585. Jundub bin Abdullah berkata, "Jibril tidak mendatangi Nabi, kemudian ada seorang wanita dari kaum Quraisy berkata, 'Setannya Muhammad terlambat datang kepada Muhammad (yakni agak lama tidak datang kepada beliau).' Kemudian turunlah ayat, 'Wadhdhuhaa wal-laili idzaa sajaa. Maa wadda'aka Rabbuka wamaa qalaa.'"
Bab Ke-5: Anjuran Nabi dengan Sangat untuk Mengerjakan Shalatullail dan Shalat-Shalat Sunnah lain, Tetapi Tidak Mewajibkannya
Nabi saw. mengetuk pintu Fatimah dan Ali pada suatu malam untuk shalat.[4]
586. Aisyah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah meninggalkan amal padahal beliau senang untuk mengamalkannya, karena takut manusia mengamalkannya lalu difardhukan atas mereka. Saya tidak (pernah melihat Rasulullah 2/54) melakukan shalat sunnah seperti shalat sunnah dhuha, dan sesungguhnya saya mengerjakannya."[5]
Bab Ke-6: Berdirinya Nabi dalam Shalat Malam Sehingga Kedua Kakinya Bengkak
Aisyah berkata, "Nabi biasa melakukan shalat malam hingga bengkak kedua kaki beliau."[6]
587. Mughirah bin Syu'bah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah bangun untuk shalat sehingga kedua telapak kaki atau kedua betis beliau bengkak. Lalu dikatakan kepada beliau, 'Allah mengampuni dosa-dosamu terdahulu dan yang kemudian, mengapa engkau masih shalat seperti itu?' Lalu, beliau menjawab, 'Apakah tidak sepantasnya bagiku menjadi hamba yang bersyukur?'"
Bab Ke-7: Orang yang Tidur di Waktu Sahar (Dini Hari Menjelang Subuh)
588. Masruq berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah, 'Apakah amal yang paling disukai Nabi?' Ia menjawab, 'Amal yang dilakukan secara terus-menerus.' (Dalam satu riwayat: 'Amal yang paling disukai Rasulullah ialah yang dilakukan oleh pelakunya secara konstan/ajeg.' 7/181). Lalu aku bertanya lagi, 'Kapan beliau bangun?' Aisyah menjawab, 'Apabila telah mendengar kokok ayam.'" (Dalam satu riwayat: 'Apabila mendengar kokok ayam, beliau bangun lalu mengerjakan shalat)
589. Aisyah berkata, "Pada waktu sahar (dini hari menjelang subuh) aku tidak menjumpai beliau (Nabi) di tempatku kecuali dalam keadaan tidur."
Bab Ke-8: Orang yang Bangun pada Waktu Sahar Tetapi Tidak Tidur Sehingga Mengerjakan Shalat Subuh
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas bin Malik yang tercantum pada nomor 322.")
Bab Ke-9: Lamanya Berdiri dalam Shalatullail
590. Abdullah (bin Mas'ud) r.a. berkata, "Aku shalat bersama Nabi pada suatu malam, maka beliau senantiasa berdiri sehingga aku bermaksud dengan buruk." Ditanyakan (kepada Abdullah), "Apakah yang Anda maksudkan?" Ia menjawab, "Aku bermaksud duduk dan membiarkan Nabi."
Bab Ke-10: Cara Shalat Nabi dan Berapa Rakaat Shalat Beliau pada Waktu Malam
591. Masruq berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat malam Rasulullah.' Aisyah menjawab, 'Adakalanya tujuh, sembilan, dan ada kalanya sebelas rakaat, selain dua rakaat fajar.'"
592. Aisyah berkata, "Nabi biasa melakukan shalat malam tiga belas rakaat, termasuk witir dan shalat fajar dua rakaat."
Bab Ke-11: Shalat Malam Nabi, Tidurnya, serta Mengenai Apa yang Dihapuskan dari Shalat Malam Itu, dan Firman Allah, "Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada waktu siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak)." (al-Muzzammil: 1-7)
Firman Allah, 'Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu. Karena itu, bacalaah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah. Maka, bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan paling besar pahalanya." (al-Muzzammil: 20)
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Nasya'a berarti berdiri, menggunakan bahasa Habasyah.[7] Witha'an berarti merasa cocok dengan Al-Qur'an, lebih mengesankan pada pendengaran, pandangan, dan hati.[8] Dan, liyuwaathi'uu berarti mendapat kecocokan."[9]
593. Anas berkata, "Rasulullah tidak berpuasa dalam satu bulan sehingga aku menduga beliau tidak puasa pada bulan itu. Beliau berpuasa dalam bulan lain sehingga aku menduga bahwa beliau tidak berbuka sedikit pun darinya. Jika kamu ingin melihatnya shalat tengah malam, kamu akan dapat melihatnya. Dan, jika kamu ingin melihatnya tidur, kamu juga bisa melihatnya."
Bab Ke-12: Ikatan Setan pada Tengkuk (Leher) Jika Seseorang Tidak Shalat Malam
594. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Setan mengikat tengkuk salah seorang di antara kamu pada waktu tidur dengan tiga ikatan. Pada setiap ikatan dikatakan, 'Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah.' Apabila ia bangun dan ingat kepada Allah, maka lepaslah satu ikatan. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu ikatan (lagi). Dan, jika ia mengerjakan shalat, maka terlepaslah seluruh ikatannya. Ia memasuki pagi hari dengan tangkas dan segar jiwanya. Jika tidak, maka ia masuk pagi dengan jiwa yang buruk dan malas."
Bab Ke-13: Jika Seseorang Tidur dan Tidak Shalat Malam, Maka Setan Telah Kencing di Telinganya
595. Abdullah berkata, "Disebutkan di sisi Nabi bahwa ada seorang laki-laki yang selalu tidur sampai pagi tanpa mengerjakan shalat (malam). Lalu beliau bersabda, 'Setan telah kencing di telinganya.'"
Bab Ke-14: Berdoa dan Shalat pada Akhir Malam
Allah berfirman, "Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun kepada Allah." (adz-Dzaariyaat: 17-18)
596. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, 'Tuhan kita Yang Mahasuci dan Mahatinggi turun ke langit dunia[10] setiap malam ketika tinggal sepertiga malam yang akhir dengan berfirman, 'Siapakah yang mau berdoa kepada-Ku lalu Aku kabulkan? Siapakah yang mau meminta kepada-Ku lalu Aku kabulkan? Siapa yang mau meminta ampun kepada-Ku lalu Aku ampuni?'"
Bab Ke-15: Orang yang Tidur di Permulaan Malam dan Menghidupkan (Yakni Bangun untuk Shalatullail) pada Akhir Malam Itu
Salman berkata kepada Abud Darda' r.a., "Tidurlah." Kemudian pada akhir malam, Salman berkata, "Bangunlah." Nabi saw bersabda, "Salman benar."[11]
597. Al-Aswad berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah, 'Bagaimanakah shalat Rasulullah di malam hari?' Ia menjawab, 'Beliau tidur pada permulaan malam, dan bangun di akhir malam, lalu shalat. Kemudian kembali ke tempat tidur beliau. Apabila muadzin mengumandangkan azan, maka beliau melompat. Jika beliau mempunyai keperluan, maka beliau mandi. Jika tidak, maka beliau berwudhu dan keluar.'"
Bab Ke-16: Berdirinya Nabi di Waktu Malam dalam Bulan Ramadhan dan Bulan Iainnya
598. Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan bahwa ia bertanya kepada Aisyah, "Bagaimanakah shalat Nabi di bulan Ramadhan?" Aisyah menjawab, "Rasulullah baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lain tidak pernah menambah atas sebelas rakaat, yaitu beliau shalat empat rakaat. Namun, jangan kamu tanyakan lagi tentang baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat (lagi), dan jangan kamu tanyakan lagi tentang baik dan panjangnya. Lalu, beliau shalat tiga rakaat. Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum witir?' Beliau menjawab, 'Wahai Aisyah, kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.'"
Bab Ke-17: Keutamaan Bersuci dan Shalat Sesudah Wudhu di Waktu Malam dan Siang
599. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi pernah bersabda kepada Bilal pada waktu subuh,[12] "Hai Bilal, coba ceritakan kepadaku amal yang paling kamu sukai dalam Islam. Karena aku mendengar bunyi terompahmu di hadapanku di surga." Bilal berkata, 'Tidak ada amal yang paling kusukai melainkan apabila aku selesai berwudhu pada waktu siang ataupun malam, melainkan aku shalat dengan wudhu itu, seberapa dapat aku kerjakan."
Bab Ke-18: Tidak Disukai Memberatkan Diri Sendiri dalam Beribadah
600. Anas bin Malik r.a. berkata, "Nabi masuk, tiba-tiba ada tali membentang antara dua tiang masjid. Beliau bertanya, 'Tali apakah ini?' Mereka menjawab, 'Ini adalah tali Zainab. Apabila ia letih, maka ia bergantung (bersandar) padanya.' Lalu Nabi bersabda, 'Tidak, lepaskan tali itu. Hendaklah salah seorang di antaramu shalat secara tangkas. Apabila letih, maka duduklah.'"
Bab Ke-19: Makruh Meninggalkan Shalat di Waktu Malam bagi Orang yang Sudah Biasa Mengerjakannya
601. Abdullah bin Amru ibnul Ash berkata, "Rasulullah berkata kepadaku, 'Wahai Abdullah, janganlah kamu menjadi seperti Fulan. Ia dahulu biasa mengerjakan shalat malam, lalu meninggalkan shalat malam itu.'"
Bab Ke-20: Keutamaan Orang yang Bangun Malam Lantas Mengucapkan Istighfar, Tasbih, atau Lainnya, Kemudian Mengerjakan Shalatullail
602. Ubadah bin Shamit mengatakan bahwa Nabi bersabda, "Barangsiapa yang bangun[13] di malam hari dan mengucapkan:
'Tiada tuhan melainkan Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan segala pujian, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah, Mahasuci Allah, tidak ada tuhan melainkan Allah, Allah Mahabesar, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah', kemudian ia mengucapkan, 'Ya Allah, ampunilah aku', atau ia berdoa, maka dikabulkanlah doanya. Jika ia berwudhu dan shalat, maka diterima (shalatnya)."
603. Al-Haitsam bin Abu Sinan mengatakan bahwa ia mendengar Abu Hurairah r.a. menceritakan kisah-kisahnya.[14] Ia menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya saudaramu tidak berkata jelek." Maksud beliau adaIah Abdullah bin Rawahah, ketika ia berkata, "Di sisi kami ada Rasulullah yang membaca kitab Allah. Ketika itulah kebaikan gemerlap memancar dari fajar. Beliau memperlihatkan petunjuk setelah kita buta. Dan hati kita percaya apa yang disabdakan bakal terjadi. Beliau bermalam dengan menjauhkan lambung dari hamparan di kala pembaringan-pembaringan merasa berat oleh orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."
Bab Ke-21: Mengekalkan Shalat Sunnah Dua Rakaat Sebelum Subuh
604. Aisyah r.a. berkata, "Nabi melakukan shalat isya. Sesudah itu beliau shalat delapan rakaat. Kemudian shalat dua rakaat sambil duduk. Lalu, beliau shalat lagi dua rakaat antara azan dan iqamah. Beliau tidak pernah meninggalkan yang dua rakaat (antara azan dan iqamah subuh) itu."
Bab Ke-22: Tidur Berbaring pada Sisi Badan Sebelah Kanan Sesudah Mengerjakan Dua Rakaat Fajar
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 528 dan 581 di muka.")
Bab Ke-23: Orang yang Bercakap-cakap Sesudah Mengerjakan Dua Rakaat Sunnah Fajar dan Tidak Berbaring
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Aisyah yang tertera pada nomor 581 tadi.")
Bab Ke-24: Keterangan Mengenai Shalat Sunnah Dikerjakan Dua Rakaat Dua Rakaat
Hal itu diriwayatkan dari Abu Ammar, Abu Dzar, Anas, Jabir bin Zaid, Ikrimah, dan az-Zuhri radhiyallahu 'anhum.[15]
Yahya bin Sa'id al-Anshari berkata, "Aku tidak melihat fuqaha-fuqaha negeri kami melainkan mereka memberi salam pada setiap dua rakaat dari shalat sunnah siang hari."
605. Jabir bin Abdullah berkata, "Rasulullah mengajarkan kepada kami untuk istikharah (minta dipilihkan Allah) dalam seluruh urusan sebagaimana beliau mengajarkan surah Al-Qur'an kepada kami. Beliau bersabda, 'Apabila salah seorang di antara kamu sekalian bermaksud akan sesuatu, maka hendaklah ia shalat dua rakaat selain fardhu. Kemudian hendaklah ia mengucapkan:
'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan kepada Mu dari anugerah Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkaulah Zat Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (kemudian ia sebutkan hal itu 8/168) baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku, (atau beliau bersabda: kesegeraan/keduniaan urusan aku dan keakhirannya/keakhiratannya) maka kuasakanlah bagiku, mudahkanlah bagiku, kemudian berkahilah bagiku padanya. Jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (kemudian ia sebutkan hal itu) buruk bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan kesudahan urusanku (atau beliau bersabda: kesegaraan/keduniaan urusan aku dan keakhirannya/keakhiratannya), maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya. Dapatkanlah bagiku kebaikan di mana saja ia berada, kemudian ridhailah aku dengannya.' Kemudian ia sebutkan keperluannya.'"
Abu Abdillah (Imam Bukhari) berkata, "Abu Hurairah berkata, 'Nabi berpesan kepadaku supaya melakukan shalat dhuha dua rakaat."[16]
Itban berkata, "Pada suatu hari ketika, sudah agak siang, Rasulullah datang kepadaku bersama Abu Bakar. Lalu, kami berbaris di belakang beliau, dan beliau shalat dua rakaat."[17]
Bab Ke-25: Bercakap-cakap Setelah Mengerjakan Shalat Fajar Sebanyak Dua Rakaat
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 581 di muka.")
Bab Ke-26: Kesungguhan Memperhatikan Dua Rakaat Sunnah Fajar dan Orang Yang Menamakannya Shalat Tathawwu'
606. Aisyah r.a. berkata, "Nabi tidak memelihara shalat-shalat sunnah melebihi perhatiannya terhadap dua rakaat fajar."
Bab Ke-27: Apa yang Dibaca dalam Shalat Sunnah Dua Rakaat Fajar
--------------------------------------------------------------------------------
Bab-Bab Shalat Tathawwu'
Bab Ke-28: Mengerjakan Shalat Sunnah Sesudah Shalat Wajib
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Umar dan Hafshah yang tercantum pada nomor 501 dan 502 di muka.")
Bab Ke-29: Orang yang Tidak Mengerjakan Shalat Sunnah Sesudah Mengerjakan Shalat Fardhu
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Abbas yang tertera pada nomor 303 di muka.")
Bab Ke-30: Shalat Dhuha di dalam Bepergian
607. Muwarriq berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Umar, 'Apakah Anda shalat dhuha?' Ia menjawab, 'Tidak.' Aku bertanya lagi, 'Kalau Umar, bagaimana?' Ia menjawab, 'Tidak.' Aku bertanya lagi, 'Kalau Abu Bakar?' Ia menjawab, 'Tidak.' Aku bertanya, 'Nabi?' Ia menjawab, 'Aku kira tidak.'"[18]
Bab Ke-31: Orang yang Tidak Mengerjakan Shalat Dhuha dan Berpendapat bahwa Meninggalkannya Itu Mubah
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 586 di muka.")
Bab Ke-32: Mengerjakan Shalat Dhuha di Waktu Hadhar (di Waktu Sedang Tidak Bepergian)
Demikian dikatakan oleh Itban bin Malik dari Nabi.[19]
608. Abu Hurairah berkata, "Kekasih (baca: Rasulullah) aku berpesan kepadaku dengan tiga hal yang tidak aku tinggalkan sampai mati. Yaitu, puasa tiga hari setiap bulan, shalat (dua rakaat, 2/274) dhuha, dan tidur di atas witir (sebelum tidur shalat witir dulu)."[20]
Bab Ke-33: Dua Rakaat Sebelum Zhuhur
609. Aisyah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat sebelum subuh.
Bab Ke-34: Shalat Sebelum Magrib
610. Abdullah al-Muzanni mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Shalat lah sebelum shalat magrib." Pada ketiga kalinya beliau bersabda, "Bagi siapa yang mau."[21] Karena, beliau tidak senang orang-orang menjadikannya sebagai kebiasaan yang tetap (sunnah).
611. Yazid bin Abu Habib berkata, "Aku mendengar Martsad bin Abdullah al-Yazani berkata, 'Aku mendatangi 'Uqbah bin 'Amir al-Juhani, lalu aku bertanya, 'Tidak patutkah aku menunjukkan keherananku kepadamu perihal Abu Tamim yang mengerjakan shalat dua rakaat sebelum shalat magrib?' Uqbah lalu menjawab, 'Kami juga mengerjakan hal itu pada zaman hidup Rasulullah.' Aku bertanya, 'Apa yang menghalang-halangi kamu untuk mengerjakan shalat itu sekarang?' Ia menjawab, 'Kesibukan.'"
Bab Ke-35: Shalat Shalat Sunnah dengan Berjamaah
Hal ini dikemukakan oleh Anas dan Aisyah r.a. dari Nabi.[22]
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Itban bin Malik yang tercantum pada nomor 227 di muka.")
Bab Ke-36: Shalat Sunnah di Rumah
612. Ibnu Umar r.a. berkata, "Rasulullah bersabda, 'Kerjakanlah beberapa di antara shalatmu di rumahmu, dan jangan kamu jadikan rumahmu itu seperti kuburan (tidak kamu tempati shalat sunnah).'"
--------------------------------------------------------------------------------
Catatan Kaki:
[1] Di-maushul-kan oleh Malik, Muslim, dan Ahmad (1/298 dan 308). Saya (al-Albani) berkata, 'Tambahan ini adalah mu'allaq, dan ia tidak menurut syarat Ash-Shahih, karena diriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyan yang berkata, 'Abdul Karim Abu Umayyah menambahkan' Lalu ia menyebutkannya. Di samping Abu Umayyah tidak menyebutkan isnadnya dalam tambahan ini, sedangkan dia sendiri dhaif dan sudah terkenal kelemahannya di kalangan para ahli hadits. Al-Hafizh berkata, 'Bukhari tidak bermaksud mentakhrijnya. Oleh karena itu, para ahli hadits tidak menganggapnya sebagai perawi Bukhari. Tambahan darinya hanya terjadi pada informasi, bukan dimaksudkan untuk riwayatnya.'"
[2] Di-maushul-kan oleh al-Faryabi di dalam tafsirnya.
[3] Di-maushul-kan oleh Abu Ubaid di dalam Fadhaa'ilul Qur'an dan Ibnu Abi Daud di dalam al-Mashaahif dari beberapa jalan dari Umar.
[4] Akan disebutkan secara maushul pada "96 AL-I'TISHAM/18- BAB".
[5] Demikianlah lafal ini di sini (yakni "lausabbihuha"), demikian pula di tempat lain yang diisyaratkan dalam matan ini. Akan tetapi, al-Hafizh mengatakan di dalam mensyarah lafal ini, "Demikianlah di sini dari kata subhah. Telah disebutkan di muka dalam bab Tahridh ala qiyaamil-lail dengan lafal, "Wa innii la astahibbuhaa," dari kata istihbab 'menyukai', dan ini dari riwayat Malik." Saya (al-Albani) berkata, "Anda lihat bahwa lafal ini sesuai dengan lafal yang di sana. Tampaknya ini karena perbedaan para perawi Ash-Shahih, juga terjadi pada perawi-perawi al Muwaththa' (1/168). Silakan periksa."
[6] Di-maushul-kan oleh penyusun (Imam Bukhari) dalam "65 -AT-TAFSIR / Fath - 3".
[7] Di-maushul-kan oleh Abd bin Humaid dengan isnad yang sahih darinya.
[8] Juga di-maushul-kan oleh Abd bin Humaid dari jalan Mujahid: "asyaddu wath'an" berarti cocok dengan pendengaran, pandangan, dan hatimu.
[9] Al-Hafizh berkata, "Kalimat ini merupakan penafsiran bebas, dan disebutkannya kalimat ini di sini hanyalah untuk menguatkan penafsiran pertama. Riwayat ini di-maushul-kan oleh ath-Thabari dari Ibnu Abbas tetapi dengan lafal, 'Kiyusyaabihuu.'"
[10] AI-Hafizh Ibnu Hajar mengikuti jumhur ulama menakwilkan turunnya Allah ini dengan turunnya perintah-Nya atau turunnya malaikat yang berseru seperti itu. Ia menguatkan takwil ini dengan membawakan riwayat Nasa'i yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah memberi kesempatan hingga berlalu tengah malam. Kemudian memerintahkan penyeru (malaikat) yang menyerukan, 'Adakah orang yang mau berdoa lalu dikabulkan doanya?'" Al-Hafizh tidak memberi komentar apa-apa tentang riwayat hadits ini, sehingga menimbulkan dugaan bahwa beliau mensahihkannya. Padahal tidak demikian, karena hadits Nasa'i itu syadz 'ganjil' lagi mungkar, karena lafal ini diriwayatkan sendirian oleh Hafsh bin Ghiyats tanpa ada perawi lain yang meriwayatkannya dengan lafal itu dari Abu Hurairah. Padahal, hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah melalui tujuh jalan periwayatan dengan isnad-isnad yang sahih dengan lafal seperti yang tercantum di dalam kitab ini, yang secara tegas dan jelas mengatakan bahwa Allahlah yang berfirman, "Adakah orang yang mau berdoa", dan bukan malaikat yang berkata begitu. Dalam riwayat itu dari semua jalan periwayatannya secara tegas disebutkan turunnya Allah yang tidak dikemukakan oleh Hafsh. Masalah turun dan berfirmannya Allah itu juga disebutkan pada semua jalan hadits dari sahabat-sahabat selain Abu Hurairah, hingga mencapai tingkat mutawatir. Aku telah men-tahqiq kesimpulan ini di dalam al-Ahaditsudh Dha'ifah nomor 3898.
[11] Ini adalah bagian hadits Abu Juhaifah yang di-maushul-kan penyusun pada "30 -ASH-SHAUM / 51 - BAB".
[12] Al-Hafizh berkata, "Ini mengisyaratkan bahwa hal itu terjadi di dalam mimpi. Karena, sudah menjadi kebiasaan Nabi menceritakan mimpinya dengan mengungkapkan apa yang beliau lihat pada sahabat-sahabat beliau-sebagaimana yang akan disebutkan pada Kitab at Ta'bir-sesudah shalat subuh." Aku (Albani) katakan, "Yakni hadits bab 48 pada '91-AT-TA'BIR'."
[13] Lafal "Ta'aarra" artinya bangun disertai dengan mengucapkan istighfar, tasbih, atau lainnya.
[14] Yakni nasihat-nasihatnya. Tampaknya perkataan, "Sesungguhnya saudaramu" adalah perkataan Abu Hurairah sendiri sebagaimana dijelaskan dalam al-Fath. Silakan periksa.
[15] Al-Hafizh berkata, "Mengenai riwayat Ammar, seolah-olah Imam Bukhari mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan Abdur Rahman ibnul-Harits bin Hisyam dari Ammar bin Yasir bahwa dia masuk masjid, lalu mengerjakan shalat dua rakaat yang singkat. Isnad riwayat ini hasan. Sedangkan riwayat Abu Dzar, seolah-olah beliau mengisyaratkan apa yang diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah dari Malik bin Aus dari Abu Dzar, bahwa dia masuk masjid. Lalu datang ke suatu tiang, dan mengerjakan shalat dua rakaat di sebelahnya. Dalam riwayat Anas, seakan Imam Bukhari mengisyaratkan kepada haditsnya yang populer mengenai shalat Nabi dengan mereka di rumahnya dua rakaat. Hadits ini sudah disebutkan dalam bab Shaf-Shaf, dan disebutkannya di sini secara ringkas. Jabir bin Zaid (perawinya) adalah Abusy Sya'sya' al-Bashri, tetapi aku tidak mendapatkan keterangan tentang dia. Adapun riwayat Ikrimah, ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Hurma bin Imarah, dari Abu Khaldah, dia berkata, "Aku melihat Ikrimah masuk masjid, lalu mengerjakan shalat dua rakaat." Sedangkan riwayat az-Zuhri, aku tidak menjumpai darinya riwayat yang maushul mengenai masalah ini.
[16] Ini adalah bagian dari hadits yang akan diriwayatkan secara maushul dan lengkap di sini sebentar lagi (32 - BAB).
[17] Ini adalah bagian dari hadits Itban di muka yang diriwayatkan secara maushul pada "8-ASH-SHALAT/46-BAB".
[18] Bahkan, terdapat riwayat dari Ibnu Umar yang menetapkan bahwa shalat dhuha itu bid'ah sebagaimana akan disebutkan pada permulaan "26-KITABUL UMRAH". Semua itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar tidak mengetahui kesunnahan shalat dhuha ini, padahal mengenai shalat ini terdapat riwayat yang sah dari Nabi, baik berupa perbuatan maupun perkataan, sebagaimana akan Anda lihat pada bab berikut.
[19] Di-maushul-kan oleh Imam Ahmad (5/450) dengan sanad sahih darinya, dan oleh penyusun dengan riwayat yang semakna dengannya, dan sudah disebutkan pada "8-ASH-SHALAT / 46-BAB".
[20] Hadits ini memiliki beberapa jalan periwayatan pada Imam Ahmad sebagaimana diisyaratkan pada hadits mu'allaq nomor 162.
[21] Tampaklah bahwa beliau mengucapkan perkataan ini tiga kali, dan pada kali yang ketiga beliau berkata, "Bagi siapa yang mau."
[22] Hadits Anas disebutkan pada nomor 397, dan hadits Aisyah disebutkan pada nomor 398 di muka.
Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari - M. Nashiruddin Al-Albani - Gema Insani Press
Jumat, 05 Februari 2010
MENGGAPAI RIDHA ALLAH MELALUI ORANG TUA
Jalan yang hak dalam menggapai ridha Allah melalui orang tua adalah Birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) adalah salah satu masalah yang penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan kepada manusia untuk bertauhid kepada-Nya, Allah Ta’ ala memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya. Dalam surat Al Isra’ ayat 23-24, Allah berfirman:
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di sisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan jangan lah kamu membentak keduanya. Dan katakanlah kepada keduanya perkatanaan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah,”Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil.”
`MENGGAPAI RIDHA ALLAH MELALUI ORANG TUA
Jalan yang hak dalam menggapai ridha Allah melalui orang tua adalah Birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) adalah salah satu masalah yang penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan kepada manusia untuk bertauhid kepada-Nya, Allah Ta’ ala memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya. Dalam surat Al Isra’ ayat 23-24, Allah berfirman:
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di sisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan jangan lah kamu membentak keduanya. Dan katakanlah kepada keduanya perkatanaan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah,”Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil.”
Al Hafidz Ibnu Katsir telah menerangkan ayat tersebut sebagai berikut:
“Allah Ta’ala telah mewajibkan kepada semua manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja, tidak menyekutukan dengan yang lain. “Qadla” di sini bermakna perintah sebagaimana yang dikatakan Imam Mujahid, wa qadla yakni washa (Allah berwasiat). Kemudian dilanjutkan dengan “wabil waalidaini ihsana” hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.
Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya dalam keadaan lanjut usia, “fa laa taqul lahuma uffin” maka janganlah berkata kepada keduanya ‘ah’ ( ‘cis’ atau yang lainnya). Janganlah memperdengarkan kepada keduanya perkataan yang buruk. “Wa laa tanhar huma” dan janganlah kalian membenci keduanya. Ada juga yang mengatakan bahwa “wa laa tanhar huma ai la tanfudz yadaka alaihima” maksudnya adalah janganlah kalian mengibaskan tangan kepada keduanya. Ketika Allah melarang perkataan perkataan dan perbuatan yang buruk, Allah juga memerintahkan untuk berbuat dan berkata yang baik. Seperti dalam firman Allah Ta’ala “wa qul lahuma qaulan karima” dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, yaitu perkataan yang lembut dan baik dengan penuh adab dan rasa hormat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan kasih sayang, hendaklah kalian bertawadlu’ kepada keduanya. Dan hendaklah kalian berdoa, “Ya Allah sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangi dan mendidikku di waktu kecil,” pada waktu mereka berada di usia lanjut hingga keduanya wafat.” [Tafsir Ibnu Katsir Juz III hal 39-40 Cet. I. Maktabah Daarus Salam, Riyad. Th. 1413H]
Perintah birul walidain juga tercantum dalam surat An Nisa ayat 36, Allah berfirman:
Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, kepada kaum kerabat, kepada anak-anak yatim, kepada orang-orang miskin, kepada tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya, sesugguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Dalam surat Al Ankabut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir kalau mengajak kepada kekafiran:
“Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikutikeduanya. Hanya kepada-Ku lah kembalimu.lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Pengertian berbuat baik dan durhaka
Menurut lughoh (bahasa), Al-Ihsan berasal dari kata ahsana –yuhsinu –Ihsaanan. Sedangkan yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan terhadap keduanya. Menurut Ibnu Athiyah, kita wajib juga mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah, harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang.
Sedangkan uquq artinya memotong (seperti halnya aqiqah yaitu memotong kambing). ‘Uququl walidain’ adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap kedua orang tuanya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan dari seorang anak kepada kedua orang tuanya yang berupa perkataan yaitu dengan mengatakan ‘ah’ atau ‘cis’, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci dan yang lainnya. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak memperdulikan, tidak bersilaturahmi atau tidak memberi nafkahkan kepada kedua orang tuanya yang miskin.
Berbakti Kepada Orang Tua Merupakan Sifat Baarizah (yang menonjol) dari Para Nabi. Dalam surat Maryam ayat 30-34, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Isa bin Maryam adalah anak yang berbakti kepada Ibunya: Berkata Isa, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, yang memberi Al-Kitab (Injil), Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Allah memerintahkan aku berbakti kepada ibuku dan tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku. Itulah Isa putra Maryam, mengatakan perkataan yang benar dan mereka berbantahan tentang kebenarannya.”
Kemudian Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 40-41: “Wahai Rabb-ku jadikanlah aku dan anak cucuku, orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Rabb-ku perkenankanlah doaku.Wahai Rabb kami, berikanlah ampunan untukku dan kedua orang tuaku. Dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab.” Lihat juga dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 83-87:(Ibrahim berdoa) “Ya Rabb-ku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku kedalam golongan orang-orang yang shalih, Dan jadikanlah aku tutur kata yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian,
Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan, Dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat,Dan janganlah engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.”
Demikian juga Nabi Nuh ‘alaihi salam mengatakan hal yang sama dalam surat Nuh. Kemudian Nabi Ismail ‘alaihi salam, juga Nabi Yahya ‘alaihi salam dalam surat Maryam ayat 12-15: Ambillah Al Kitab dengan sungguh-sungguh, Kami berikan kepadanya hikmah, ketika masih kanak-kanak, Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan ia adalah orang-orang yang bersih dosa dan orang-orang bertakwa. Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, bukanlah ia termasuk orang-orang yang sombong lagi durhaka. Kesejahteraan semoga atas dirinya, pada hari ia dilahirkan, pada hari ia diwafatkan, dan pada hari ia dibangkitkan.”
Kemudian dalam An Nahl ayat 19 tentang nabi Sulaiman ‘alaihi salam. Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugrahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengajarkan amal shalih yang Engkau ridlai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.”
Ayat-ayat diatas menunjukan bahwa bakti kepada orang tua merupakan sifat yang menonjol bagi para nabi. Semua nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukan bahwa berbakti kepada orang tua adalah syariat yang umum. Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke muka bumi selain diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada Allah, mentauhidkan Allah dan menjauhi segala macam perbuatan syirik juga diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada orang tuanya.
Bila diperintahkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua seperti yang tercantum dalam surat An Nisa, surat Al Isra dan surat-surat yang lainya menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah masalah kedua setelah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau selama ini yang dikaji adalah masalah tauhid, masalah aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, aqidah salaf, untuk selanjutnya wajib pula bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengkaji masalah berbakti kepada kedua orang tua. Tidak boleh terjadi pada seorang yang bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya, wal iyadzubillah nas alullahu salamah wal afiyah. Bagi seorang muslim terutama bagi seorang thalibul ‘ilm (penuntut ilmu), wajib baginya berbakti kepada orang tuanya.
Keutamaan Berbakti Kepada Kedua Orang Tua dan Pahalanya
Pertama: Bahwa berbakti kepada kedua orang tua dalam amal yang paling utama. Dengan dasar diantaranya yaitu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dari sahabat Abu Abdirrahman Abdulah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu:
“Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang amal-amal paling utama dan dicintai Allah? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘pertama Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat diawal waktunya), kedua berbakti kepada kedua dua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah’.” [HR. Bukhari I/134, Muslim No. 85, Fathul Baari 2/9]
Dengan demikian jika ingin berbuat kebajikan harus didahulukan amal-amal yang paling utama di antaranya adalah birrul walidain (berbakti kepada orang tua).
Kedua: Bahwa ridha Allah tergantung kepada keridhaan orang tua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ibnu Hibban, Hakim dan Imam Tirmidzi dari Sahabat dari sahabat Abdillah bin Amr dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban (2026-Mawarid), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152))
K etiga: Bahwa berbakti kepada kedua orang tua dapat menghilangkan kesulitan yang sedang dialami yaitu dengan cara bertawasul dengan amal shalih tersebut. Dengan dasar hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Pada suatu hari tiga orang berjalan, lalu kehujanan. Mereka bertehduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka ada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi pintu gua/ sebagian mereka berkata kepada yang lain, ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawasul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu diantara mereka berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut dan aku dapati kedua orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan berikan kepada siapapun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena Engkau ya Allah, bukakanlah.’ Maka batu yang menutup pintu gua itu pun bergeser.” [HR. Bukhari, (Fathul baari 4/449 no. 2272), Muslim (2473) (100) Bab Qishshah Ashabil Ghaar Ats Tsalatsah Wattawasul bi Shalihil A’mal].
Ini menunjukan bahwa perbuatan berbakti kepada kedua orang tua yang pernah kita lakukan, dapat digunakan untuk bertawasul kepada Allah ketika kita mengalami kesulitan, insya Allah kesulitan tersebut akan hilang. Berbagai kesulitan yang dialami seseorang saat ini diantaranya karena perbuatan durhaka kepada kedua orang tua.
Kalau kita mengetahui, bagaimana beratnya orang tua kita telah bersusah payah untuk kita, maka perbuatan ‘Si Anak’ yang ‘bergadang’ untuk memerah susu tersebut belum sebanding dengan jasa orang tuanya ketika mengurusnya sewaktu kecil.
Ini juga menunjukan bahwa kebutuhan kedua orang tua harus di dahulukan daripada kebutuhan anak kita sendiri. Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan berbakti kepada orang tua harus didahulukan dari pada berbuat baik kepada istri sebagai mana diriwayatkan oleh abdulah bin umar radliallahu ‘anhuma ketika diperintahkan oleh bapaknya (Umar bin Khatab) untuk menceraikan istrinya, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasalullah menjawab, “Ceraikan istrimu!” [HR. Abu Dawud No. 5138, Tirmidzi No. 1189 beliau berkata, “Hadits hasan shahih”]
Keempat: Dengan berbakti kepada kedua orang tua akan diluaskan rizki dan dipanjangkan umur Sebagai mana dalam hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dari sahabat Anas radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang suka diluaskan rizki dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” [HR. Bukhari 7/7, Muslim 2557, Abu Dawud 1693].
Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan silaturahmi kepada orang tua sebelim kepada yang lain. Banyak diantara saudara-saudara kita yang sering ziarah kepada teman-temannya tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil dia selalu bersama orang tuanya. Sesulit apapun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua. Karena dengan dekat kepada keduanya insya Allah akan dimudahkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Kelima: Manfaat dari berbakti kepada kedua orang tua yaitu akan dimasuikkan ke jannah (surga) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dosa-dosa yang Allah segerakan adzabnya di dunia diantaranya adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian jika seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya, Allah akan menghindarkannya dari berbagai mala petaka, dengan izin Allah.
Wasiat Berbuat Baik Kepada Orang Tua Takala Keduanya Berusia Lanjut.
Banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan tentang ruginya seseorang yang tidak berbakti kepada kedua orang tua pada waktu orang tua masih disisi kita, salah satunya adalah:Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut , salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga.” [HR. Muslim 2551, Ahmad 2:254,346].
Pada umumnya seorang anak merasa berat dan malas memberi nafkah dan mengurusi kedua orang tuanya yang telah berusia lanjut. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa keberadaan kedua orang tua yang berusia lanjut itu adalah kesempatan paling baik untuk mendapatkan pahala dari Allah, dimudahkan rizki dan jembatan emas menuju surga. Karena itu sungguh rugi jika seorang anak menyia-nyiakan kesempatan yang paling berharga ini dengan mengabaikan hak-hak orang tuanya dan dengan sebab itu dia tidak masuk surga.
Bentuk dan Akibat Durhaka Kepada Kedua Orang Tua.
Di antara bentuk durhaka (uquq) adalah:
1. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua baik berupa perkataan (ucapan ) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih atau sakit hati.
2. Berkata ‘ah dan tidak memenuhi panggilan orang tua.
3. Membentak atau menghardik orang tua.
4. Bakhil, tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mempentingkan yang lain dari pada mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkahpun , dilakukan dengan penuh perhitungan.
5. Bermuka masam dan cemberut dihadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, '‘kolot’ dan lain-lain.
6. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi jika ‘Si Ibu’ melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri maka tidak mengapa dan karena itu anak harus berterima kasih.
7. Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
8. Memasukan kemurkaan kedalam rumah misalnya alat musik, mengisap Rokok, dll.
9. Mendahului taat kepada istri dari pada orang tua. Bahkan ada sebagai orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya. Na’udzubillah.
10. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.
Akibat dari durhaka kepada kedua orang tua akan dirasakan di dunia, dan ini didasarkan pada hadits berikut:Dari Abi Bakrah radliallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Tidak ada dosa yang Allah cepatkan adzabnya kepada pelakunya di dunia ini dan Allah juga akan mengadzabnya di akhirat yang pertama adalah berlaku Zhalim, kedua memutuskan tali silaturrahmi.” [HR. Bukhari (Shahih Adabul Mufrad No. 23),]
Dalam hadits lain dikatakan:”Dua perbuatan dosa yang Allah sepatkan adzabnya (siksanya) di dunia yaitu berbuat zhalim dan al ‘uquq (durhaka kepada orang tua). [HR. Hakim 4/177 dari Anas din Malik radliallahu ‘anhu].
Dapat kita lihat sekarang banyak orang yang durhaka kepada orang tuanya hidupnya tidak berkah dan selalu mengalami berbagai macam kesulitan. Kalaupun orang tersebut kaya maka kekayaannya tidak akan menjadikan bahagia.
Bentuk-bentuk Bakti Kepada Orang Tua
Pertama: Bergaul kepada keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebutkan bahwa memberi kegembiraan kepada seseorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.
Kedua: yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara kepada kedua orang tua dengan kepada anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua.
Ketiga: Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Keempat: Yaitu memberi infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua.
Kelima: Mendo’akan kedua orang tua. Sebagaimana ayat: ‘robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro’ (wahai rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus berlaku lemah lembut kepada keduanya.
Apabila kedua orang telah meninggal maka yang pertama kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan taubat yang nasuha (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup, yang kedua adalah menshalatkannya, ketiga adalah selalu meminta ampunan untuk keduanya, yang keempat membayarkan hutang-hutangnya, yang kelima melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari’at dan yang keenam menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya (diringkas dari beberapa hadist yang shahih).
________________________________________
» Balik ke Atas
Untuk pertanyaan, saran dan kritikan silakan hubungi dihyah@plasa.com.
ANTARA NASEHAT DAN KEIHKLASAN
Oleh
Al-Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz
Nasehat merupakan amalan yang penting dalam Islam, bahkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mengatakan bahwa "dien itu adalah nasehat"[1], dan beliau memberikan syarat kepada Jarir bin Abdullah radhiallahu 'anhu ketika memba'iatnya di antaranya "memberikan nasehat kepada setiap muslim"[2]. Oleh karena itu, seorang pemberi nasehat harus membersihkan niatnya dari segala ketamakan dunia dan keinginan mendapatkan pujian manusia dan maksud buruk lainnya.
ANTARA NASEHAT DAN KEIHKLASAN
Oleh
Al-Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz
Nasehat merupakan amalan yang penting dalam Islam, bahkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mengatakan bahwa "dien itu adalah nasehat"[1], dan beliau memberikan syarat kepada Jarir bin Abdullah radhiallahu 'anhu ketika memba'iatnya di antaranya "memberikan nasehat kepada setiap muslim"[2]. Oleh karena itu, seorang pemberi nasehat harus membersihkan niatnya dari segala ketamakan dunia dan keinginan mendapatkan pujian manusia dan maksud buruk lainnya.
Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang menampakkan ucapan dan perbuatannya kepada manusia perbuatan yang baik, tetapi ia mempunyai maksud mencapai tujuan yang buruk, lalu dipuji oleh manusia disebabkan perbuatan baik yang ia tampakkan padahal mempunyai tujuan yang buruk, lalu dia gembira dengan pujian manusia, maka orang tersebut diancam oleh Allah Ta'ala dengan adzab yang sangat pedih.
Allah berfirman :
"Janganlah kamu sekali-kali menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." [Ali Imran 188]
Al Imam Ibnu Rajab memberikan contoh, "Bahwa seseorang menghendaki mencela seorang yang lain dan merendahkannya serta menampakkan aibnya agar manusia menjauhi orang tersebut entah disebabkan adanya permusuhan antara keduanya sehingga ia senang menyakitinya atau karena takut tersaingi dalam hal harta atau kepemimpinan atau dikarenakan sebab-sebab tercela lainnya, maka tidak ada jalan lain untuk mencapai maksudnya, kecuali dengan menampakkan celaan terhadap orang tadi dengan alasan dien, seperti:
Ada seorang yang membantah satu pendapat yang lemah dari sekian banyak pendapat-pendapat yang benar dari seorang ulama yang masyhur, maka ada seorang yang mengisukan kepada para pengagum seorang alim bahwa si fulan membenci si 'alim ini dan mencela serta mencaci makinya, sehingga menimbulkan kemarahan setiap orang yang mengaguminya dan orang yang membuat isu tadi mempengaruhi mereka dengan membuat opini umum bahwa benci kepada si pengkritik termasuk amal kebaikan, karena dalam rangka membela ulama dan membersihkan nama baiknya, maka yang demikian termasuk taqarub kepada Allah Subhana wa Ta'ala dan menjalankan ketaatan kepada-Nya, maka berkumpulah dua hal yang haram dan buruk pada perbuatan yang nampaknya sebagai nasehat.
Yang pertama, tuduhan bahwa kritikan terhadap ulama tadi dikatakan sebagai kebencian dan mengikuti hawa nafsu, padahal bisa jadi si pengkritik menginginkan nasehat kepada kaum mu'minin dan menyampaikan ilmu yang tidak boleh disembunyikannya.
Yang kedua, dengan menyampaikan celaan kepada si pengkritik seolah- olah celaan tersebut dalam rangka memberi nasehat dan membela ulama syariat, padahal dalam rangka mencapai tujuan buruknya dan memuaskan hawa nafsunya." Sampai ia berkata:
Barangsiapa ditimpa dengan makar seperti ini, maka bertaqwalah kepada Allah, memohon pertolonganNya dan bersabarlah, karena kesudahan yang baik itu bagi orang yang bertaqwa."[3]
Dalam halaman sebelumnya, beliau (Imam Ibnu Rajab) juga menjelaskan:
"Sedangkan menjelaskan kesalahan dari kesalahan-kesalahan ulama sebelumnya, apabila ia memakai adab dalam penyampaian, dan membantah serta menjawab dengan sebaik-baiknya, maka hal tersebut tidaklah mengapa dan ia tidak tercela, meskipun bantahan itu keluar disebabkan kebanggaan dengan pendapatnya (yang diyakininya sebagai kebenaran, pent), hal ini tidak mengapa pula. Dan sebagian orang-orang salaf apabila mengingkari seseorang atas pendapatnya ia mengatakan, " Si fulan telah berdusta" dan termasuk di antaranya adalah ucapan Nabishalallahu 'alaihi wasallam , yang artinya :
"Abu As Sanabil telah berdusta," ketika sampai berita kepada beliau bahwa Abu As Sanabil berfatwa tentang iddah sesorang wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya tidak cukup sampai melahirkan, melainkan harus menunggu sampai empat bulan sepuluh hari. Begitu pula para ulama yang terkenal wara'nya kadang-kadang sangat keras dalam mengingkari pendapat-pendapat lemah yang dipegangi oleh sebagian ulama dan membantahnya dengan sekeras-kerasnya, sebagaimana Imam Ahmad (164-241 H) mengingkari Abu Tsaur (...-240 H) dan selainnya dalam pendapat-pendapat yang lemah dan menyendiri, beliau membantah mereka dengan sangat kerasnya, ini semuanya hukum dzahir, yaitu yang nampak.
Sedangkan di balik itu, apabila maksudnya semata-mata menjelaskan kebenaran, dan agar manusia tidak tertipu dengan pendapat-pendapat yang salah, maka tidak ragu lagi bahwa dia mendapatkan pahala atas maksud baiknya, dan perbuatannya tersebut dengan niat tadi dikategorikan kedalam nasehat kepada kitabNya, RasulNya dan para penguasa kaum muslimin serta kaum muslimin pada umunya. Baik yang menjelaskan kesalahan itu anak kecil atau orang dewasa."[4]
Sampai beliau (Imam Ibnu Rajab) berkata :
"Sedangkan kalau tujuan dari si pengkritik itu untuk menampakkan kekurangan orang yang dikritiknya, merendahkan, menjelaskan kebodohan dan kekurangannya dalam hal ilmu dan yang semisalnya maka hal itu haram hukumnya. Baik ia mengkritik dihadapan orangnya atau dibelakangnya, baik dimasa hidupnya atau setelah meninggalnya, dan perbuatan ini termasuk yang dicela oleh Allah dan Allah mengancam setiap pengumpat lagi pencela dalam kitabNya, dan termasuk jugasebagai orang yang dikatakan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam :
"Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, dan janganlah kalian menari-cari kekurangan-kekurangan mereka, karena sesungguhnya barangsiapa mencari-cari kekurangan-kekurangan mereka maka kelak Allah akan menyingkapkan kekurangan dia (di akhirat) maka Dia akan membiarkan orang lain tahu aibnya, meskipun di dalam rumahnya." [H.R.Tirmidzi (Tuhfatul Ahwadzi juz 6/180), dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Al-Jami'us Shaghirno.7985 dan shahih Tirmidzi no.1655.]5)
Dan ini semuanya berkenaan dengan hak ulama teladan dalam dien ini. Sedangkan ahli bid'ah dan orang-orang sesat, serta orang yang lagaknya seperti ulama padahal bukan dari mereka, maka boleh untuk menjelaskan kebodohan mereka dan menampakkan aib-aib mereka dalam rangka memberi peringatan (kepada kaum muslimin) agar tidakmeneladani mereka dan pembicaraan kita sekarang, bukanlah mengenai mereka ini, Wallahu A'lam." [6]
Saudara-saudara sekalian! Sesungguhnya syetan itu amat perhatian untuk merusak amal-amal kita di antaranya dengan cara memalingkan kita dari keikhlasan.
Imam Nawawi rahimahullah ketika sedang menjelaskan apa-apa yang diperbolehkan dari berbuat ghibah di antaranya mengatakan, "Dan di antaranya apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi majlis ahli bid'ah, atau orang yang fasik, untuk menimba ilmu, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli bid'ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata bermaksud memberi nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Dan kadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad. Ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat."[7]
Terakhir sebagai penutup pembahasan "Ikhlas Dalam Memberi Nasehat Karena Allah", marilah kita simak bersama ucapan seorang ulamarabbani, Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah. Beliauberkata :
"Perbedaan antara nasehat dan kecaman adalah bahwa nasehat itu merupakan perbuatan baik kepada orang yang engkau nasehati dalam bentuk kasih sayang, rasa kasihan, cinta dan cemburu. Maka nasehat itu semata-mata perbuatan baik didasari kasih sayang dan kelembutan dan dimaksudkan hanya mencari ridha Allah shalallahu 'alaihi wasallam dan wajahNya, dan berbuat kebaikan kepada makhlukNya. Maka dia bersikap lemah-lembut semaksimal mungkin dalam menjalankan nasehat tersebut dan sabar dalam menerima gangguan dan celaan dari orang-orang yang dinasehatinya dan mensikapinya seperti sikap seorang dokter yang ahli, penuh rasa kasih sayang kepada pasiennya yang menderita sakit komplikasi dan dalam keadaan setengah sadar, dia sabar menghadapi kekurangajaran pasiennya dan tindak-tanduknya yang tidak tahu aturan itu, dokter tersebut tetap bersikap lemah-lembut dan merayunya dengan berbagai cara dalam usahanya untuk meminumkan obat kepadanya. Begitulah sikap seorang pemberi nasehat.
Sedangkan pengecam ialah seorang yang bermaksud mempermalukan, menghinakan, dan mencela orang yang dikecam dan dicacinya, akan tetapi dengan bungkusan berupa nasehat, maka dia mengatakan, "Wahai pelaku ini dan itu! Wahai orang yang pantas dicela dan dihina!" Seolah-olah dia seorang pemberi nasehat dengan penuh kasih sayang, dan cirinya adalah apabila dia melihat orang yang dicintainya dan telah memberikan jasa baik kepadanya berbuat kesalahan yang sama atau bahkan lebih buruk lagi, dia hanya diam seribu bahasa sambil mencari-cari alasan untuk membela dia dengan mengatakan, "Manusia tidak ada yang ma'shum karena manusia tempatnya salah dan khilaf atau "kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya" atau "Allah Subhana wa Ta'ala Maha Pengampun dan Maha Penyayang", dan yang semisalnya.
Sungguh aneh mengapa sampai berbeda sikapnya terhadap dua orang tadi, yang satu dia mencintainya dan yang lain dia membencinya dan mengapa yang satu mendapatkan bagian darimu, berupa kecaman yang dibungkus dengan bentuk nasehat dan yang satu mendapatkan bagian darimu berupa harapan, maaf, ampunan, serta mencari-cari pembelaan.
Dan masih termasuk perbedaan antara penasehat dan pengecam bahwasanya penasehat itu tidak memusuhimu apabila engkau tidak menerima nasehatnya, ia mengatakan, "Kewajiban saya hanya menyampaikan, dan saya mengharap pahala dari Allah, baik engkau terima ataupun engkau tolak nasehat ini." Dan dia berdo'a kepada Allah memohonkan kebaikan untukmu di saat engkau tidak ada disisinya, dan segala kekuranganmu ditutupinya, tidak diberitahukannya kepada orang dan tidak disebarkannya kepada khalayak ramai, sedangkan pengecam berbuat sebaliknya."[
Rabu, 03 Februari 2010
Nasihat Bagi Pemuda Muslim Dan Penuntut Ilmu
Nasihat Bagi Pemuda Muslim Dan Penuntut Ilmu
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertama-tama aku menasihatimu dan diriku agar bertakwa kepada Allah Jalla Jalaluhu, kemudian apa saja yang menjadi bagian/cabang dari ketakwaan kepada Allah Tabaarakan wa Ta'ala seperti :
[1]. Hendaklah kamu menuntut ilmu semata-mata hanya karena ikhlas kepada Allah Jalla Jalaluhu, dengan tidak menginginkan dibalik itu balasan dan ucapan terima kasih. Tidak pula menginginkan agar menjadi pemimpin di majelis-majelis ilmu. Tujuan menuntut ilmu hanyalah untuk mencapai derajat yang Allah Jalla Jalaluhu telah khususkan bagi para ulama. Dalam firmanNya.
"Artinya : ... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...?" [Al-Mujaadilah : 11]
[2]. Menjauhi perkara-perkara yang dapat menggelincirkanmu, yang sebagian " Thalibul Ilmi" (para penuntut ilmu) telah terperosok dan terjatuh padanya.
Diantara perkara-perkara itu :
[a] Mereka amat cepat terkuasai oleh sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan terpedaya, sehingga ingin menaiki kepala mereka sendiri.
[b] Mengeluarkan fatwa untuk dirinya dan untuk orang lain sesuai dengan apa yang tampak menurut pandangannya, tanpa meminta bantuan (dari pendapat-pendapat) para ulama Salaf pendahulu ummat ini, yang telah meninggalkan "harta warisan" berupa ilmu yang menerangi dan menyinari dunia keilmuan Islam. (Dengan warisan) itu jika dijadikan sebagai alat bantu dalam upaya penyelesaian berbagai musibah/bencana yang bertumpuk sepanjang perjalanan zaman. Sebagai mana kita telah ikut menjalani/merasakannya, dimana sepanjang zaman itu dalam kondisi yang sangat gelap gulita.
Meminta bantuan dalam berpendapat dengan berpedoman pada perkataan dan pendapat Salaf, akan sangat membantu kita untuk menghilangkan berbagai kegelapan dan mengembalikan kita kepada sumber Islam yang murni, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahihah.
Sesuatu yang tidak tertutup bagi kalian bahwasannya aku hidup di suatu zaman yang mana kualami padanya dua perkara yang kontradiksi dan bertolak belakang, yaitu pada zaman dimana kaum muslimin, baik para syaikh maupun para penuntut ilmu, kaum awam ataupun yang memiliki ilmu, hidup dalam jurang taqlid, bukan saja pada madzhab, bahkan lebih dari itu bertaqlid pada nenek moyang mereka.
Sedangkan kami dalam upaya menghentikan sikap tersebut, mengajak manusia kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Demikian juga yang terjadi di berbagai negeri Islam. Ada beberapa orang tertentu yang mengupayakan seperti apa yang kami upayakan, sehingga kamipun hidup bagaikan "Ghuraba" (orang-orang asing) yang telah digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa hadits beliau yang telah dimaklumi, seperti :
"Artinya : Sesungguhnya awal mula Islam itu sebagai suatu yang asing/aneh, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing"
Dalam sebagian riwayat, Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Mereka (al-Ghurabaa) adalah orang-orang shaleh yang jumlahnya sedikit sekeliling orang banyak, yang mendurhakai mereka lebih banyak dari yang mentaati mereka" [Hadits Riwayat Ahmad]
Dalam riwayat yang lain beliau bersabda :
"Artinya : Mereka orang-orang yang memperbaiki apa yang telah di rusak oleh manusia dari Sunnah-Sunnahku sepeninggalku".
Aku katakan : "Kami telah alami zaman itu, lalu kami mulai membangun sebuah pengaruh yang baik bagi dakwah yang di lakukan oleh mereka para ghuraba, dengan tujuan mengadakan perbaikan ditengah barisan para pemuda mukmin. Sehingga kami jumpai bahwa para pemuda beristiqomah dalam kesungguhan di berbagai negeri muslim, giat dalam berpegang teguh pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengetahui keshahihannya".
Akan tetapi kegembiraan kami terhadap kebangkitan yang kami rasakan pada tahun-tahun terakhir tidak berlangsung lama. Kita telah dikejutkan dengan terjadinya sikap "berbalik", dan perubahan yang dahsyat pada diri pemuda-pemuda itu, di sebagian negeri[1]. Sikap tersebut, hampir saja memusnahkan pengaruh dan buah yang baik sebagai hasil kebangkitan ini, apa penyebabnya ? Di sinilah letak sebuah pelajaran penting, penyebabnya adalah karena mereka tertimpa oleh perasaan ujub (membanggakan diri) dan terperdaya oleh kejelasan bahwa mereka berada di atas ilmu yang shahih. Perasaan tersebut bukan saja diseputar para pemuda muslim yang terlantar, bahkan terhadap para ulama. Perasaan itu muncul tatkala merasa bahwa mereka memilki keunggulan dengan lahirnya kebangkitan ini, atas para ulama, ahli ilmu dan para syaikh yang bertebaran diberbagai belahan dunia Islam.
Sebagaimana merekapun tidak mensyukuri nikmat Allah Jalla Jalaluhu yang telah memberikan Taufik dan Petunjuk kepada mereka untuk mengenal ilmu yang benar beserta adab-adabnya. Mereka tertipu oleh diri mereka sendiri dan mengira sesungguhnya mereka telah berada pada status kedudukan dan posisi tertentu.
Merekapun mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak matang alias mentah, tidak berdiri diatas sebuah pemahaman yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Maka tampaklah fatwa-fatwa itu dari pendapat-pendapat yang tidak matang, lalu mereka mengira bahwasanya itulah ilmu yang terambil dari al-Qur'an dan as-Sunnah, maka mereka pun tersesat dengan pendapat-pendapat itu, dan juga menyesatkan banyak orang.
Suatu hal yang tidak sama bagi kalian, akibat dari itu semuanya muncullah sekelompok orang ("suatu jama'ah") dibeberapa negeri Islam yang secara lantang mengkafirkan setiap jama'ah-jama'ah muslimin dengan filsafat-filsafat yang tidak dapat diungkapkan secara mendalam pada kesempatan yang secepat ini, apalagi tujuan kami pada kesempatan ini hanya untuk menasehati dan mengingatkan para penuntut ilmu dan para du'at (da'i).
Oleh sebab itu saya menasehati saudara-saudara kami ahli sunnah dan ahli hadits yang berada di setiap negeri muslim, agar bersabar dalam menuntut ilmu, hendaklah tidak terperdaya oleh apa yang telah mereka capai berupa ilmu yang dimilikinya. Pada hakekatnya mereka hanyalah mengikuti jalan, dan tidak hanya bersandar pada pemahaman-pemahaman murni mereka atau apa yang mereka sebut dengan "ijtihad mereka".
Saya banyak mendengar pula dari saudara-saudara kami, mereka mengucapkan kalimat itu, dengan sangat mudah dan gampang tanpa memikirkan akibatnya : "Saya berijtihad". Atau "Saya berpendapat begini" atau "Saya tidak berpendapat begitu", dan ketika anda bertanya kepada mereka ; Kamu berijtihad berdasarkan pada apa, sehingga pendapatmu begini dan begitu ? Apakah kamu bersandar pada pemahaman al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta ijma' (kesepakatan) para ulama dari kalangan Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya ? Ataukah pendapatmu ini hanya hawa nafsu dan pemahaman yang pendek dalam menganalisa dan beristidlal (pengambilan dalil)?. Inilah realitanya, berpendapat berdasarkan hawa nafsu, pemahaman yang kerdil dalam menganalisa dan beristidlal. Ini semuanya dalam keyakinanku disebabkan karena perasaan ujub, kagum pada diri sendiri dan terperdaya.
Oleh sebab itu saya jumpai di dunia Islam sebuah fenomena (gejala) yang sangat aneh, tampak pada sebagian karya-karya tulis.
Fenomena tersebut tampak dimana seorang yang tadinya sebagai musuh hadits, menjadi seorang penulis dalam ilmu hadits supaya dikatakan bahwa dia memiliki karya dalam ilmu hadits. Padahal jika anda kembali melihat tulisannya dalam ilmu yang mulia ini, anda akan jumpai sekedar kumpulan nukilan-nukilan dari sini dan dari sana, lalu jadilah sebuah karya tersebut. Nah apakah faktor pendorongnya (dalam melakukan hal ini) wahai anak muda ? Faktor pendorongnya adalah karena ingin tampak dan muncul di permukaan. Maka benarlah orang yang berkata.
"Perasaan cinta/senang untuk tampil akan mematahkan punggung (akan berkaibat buruk)"
Sekali lagi saya menasehati saudara-saudaraku para penuntut ilmu, agar menjauhi segala perangai yang tidak Islami, seperti perasaan terperdaya oleh apa yang telah diberikan kepada mereka berupa ilmu, dan janganlah terkalahkan oleh perasaan ujub terhadap diri sendiri.
Sebagai penutup nasehat ini hendaklah mereka menasehati manusia dengan cara yang terbaik, menghindar dari penggunaan cara-cara kaku dan keras di dalam berdakwah, karena kami berkeyakinan bahwasanya Allah Jalla Jalaluhu ketika berfirman.
"Artinya : Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik ..." [An-Nahl : 125]
Bahwa sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu tidaklah mengatakannya kecuali dengan kebenaran (al-haq) itu, terasa berat oleh jiwa manusia, oleh sebab itu ia cenderung menyombongkan diri untuk menerimannya, kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allah. Maka dari itu, jika di padukan antara beratnya kebenaran pada jiwa manusia plus cara dakwah yang keras lagi kaku, ini berarti menjadikan manusia semakin jauh dari panggilan dakwah, sedangkan kalian telah mengetahui sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Bahwasanya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan (manusia dari agama) ; beliau mengucapkan tiga kali".
Mencari Ridha Allah SWT
Segala Puji hanya bagi Allah Rabb Semesta alam yang atas karunia-NYA kita dapat bernafas dalam hidup ini.
Shalawat serta salam kita curahkan kepada junjungan kita Baginda Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wassallam,keluarga,para sahabat serta kaum muslimin sekalian yang selalu mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.
"Dan tidak ku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada ku"(Adz Dzaariyaat : 56).
Ayat diatas menyuruh kita agar beribadah kepada Allah SWT dan memang tujuan Allah menciptakan kita didunia agar beribadah kepada-Nya.
Ibadah disini bukan hanya sekedar shalat atau puasa doank yang dimaksud ibadah adalah mencari apa-apa yang di ridhai oleh Allah Harus kita capai.Kalau ibadah kita artikan hanya sekedar shalat doank sedangkan kita shalat paling cuma 5 menit perwaktu shalat dikali 5 waktu taruhlah 25 menit kita shalat dalam sehari lantas kemana sisa waktu yang lainnya?sedangkan Allah menciptakan kita untuk beribadah tiap hari selama kita hidup!Kalau kita cuma mendefinisikan ibadah hanya sekedar shalat lalu kemana sisa waktu yang lainnya?Nanti ketika diakhirat Allah akan menanyakan sisa waktu tersebut kita pergunakan.
Mencari Ridha Allah
“Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk meraih ridha Allah swt. Dan adalah Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya”. (Al-Baqarah: 207)
Ayat ini memberi gambaran konkrit tentang seseorang yang rela mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata untuk meraih ridha Allah dalam seluruh totalitas kehidupannya. Karena ia yakin, ridha Allah merupakan target puncak dari sebuah proses panjang keimanan yang merupakan implementasi nyata dari kesempurnaan takwa.
Dalam suatu riwayat disebutkan ada seorang sahabat yang bernama Shuhaib bin Sinan Ar-Rumi yang rela mengorbankan seluruh yang dimilikinya karena tekanan kaum Quraisy agar ia diperkenankan untuk berhijrah ke Madinah. Shuhaib dihalangi oleh para pemuka Quraisy untuk berhjrah melainkan ia menyerahkan seluruh hartanya kepada mereka tanpa tersisa sedikit pun. Dengan tanpa ragu-ragu, ia meninggalkan hartanya di Mekah semata-mata mengharapkan ridha Allah dari perbuatan hijrahnya yang mulia tersebut.Dan ketika beliau bertemu rasulullah ia pun di puji oleh rasulullah.
Oleh karena itu mulai dari sekarang carilah ridha Allah apa-apa yang diridhai oleh Allah harus kita capai.
Dalam pergaulan sehai-hari kita harus capai apa-apa yang diridhai oleh Allah contohnya:Kita bergaul oleh orang-orang shaleh,Berkumpul di majelis ta'lim,Berkumpul dengan teman-teman dengan membicarakan atau mempelajari islam lebih dalam.
Niatkanlah segala sesuatu hanya untuk mencari ridha Allah,kira-kira apa yang kita kerjakan Allah meridhai tidak ya?Kalau kira-kira niat kita itu baik sesuai dengan tuntunan agama insyaAllah Allah ridha dan kita harus lakukan itu dengan ikhlas dengan tujuan mengharapkan ridha Allah bukan karena memamerkan kebajikan kita kepada orang banyak itu adalah perbuatan Riya memamerkan sesuatu kepada orang banyak.
Hanya itu yang dapat saya sampaikan semoga dapat bermanfaat untuk teman-teman.Saya mohon maaf apabila ada perkataan dalam tulisan saya yang tak berkenan di hati teman-teman.